Balasan dari suratmu, kutuliskan di sini. Kuharap kau tak keberatan. Akan kusediakan hard copy-nya kalau kau mau.
Sebenarnya sudah lama aku ingin memposting tulisan tentangmu, Adikku. Di Blog ku yang sederhana ini, agar semua orang yang mengunjungi blog ini tahu, betapa berharganya dirimu. Dan sungguh tidak pantas diri ini menjadi seorang yang seyogyanya membimbingmu, karena dari dirimulah sebenarnya kuterima banyak sekali pelajaran berharga.
Aku mengenal dirimu sebagai sosok yang istimewa dibanding akhwat-akhwat lainnya. Masih terekam di benakku, ketika pertama kali kau berkata bahwa cita-citamu adalah bagaimana menjadi seorang Mukminah yang akan menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Saat itu, kau masih seorang Mahasiswa Baru yang bahkan belum sempat mengecap dakwah kampus, tapi kau telah memiliki cita-cita yang sangat luhur! “Ku anfusakum wa ahlikum nara”, kuyakin, kau tak kan sebatas mengatakannya.
Adikku, darimu aku belajar bagaimana seorang wanita memperjuangkan fikrahnya di dalam keluarga yang sangat tidak mendukung aktifitas-aktifitas keislamanmu. Darimu pula aku belajar bagaimana melihat peluang dari hal-hal yang jarang sekali dipikirkan oleh orang lain. Kau tahu? Aku juga belajar berbisnis darimu.
Semangatmu yang selalu membara, rasa ingin tahumu yang luar biasa, ide-idemu yang brilian, serta keberanian dan kejujuranmu yang murni tanpa tendensi apa-apa membuatku merasa sangat tidak pantas menjadi seseorang yang ‘berdiri di atasmu’.
Kau tahu, Adikku, kau bisa saja mempecundangiku dalam segala hal. Memasak, menulis, berbisnis, berkreasi, berbahasa Inggris, dsb. Ku yakin, kau akan selalu menang.
Kadang aku merasa betapa munafiknya diriku di hadapanmu. Yang dengan tangan ini tak pernah memberikan jasa apa-apa dalam membangun dakwah. Yang dengan lisan ini tak sanggup menyampaikan apa-apa dalam nasehat dakwah. Dengan maknawiyah diriku yang sangat memprihatinkan, dengan ruhiyahku yang sangat lemah. Hingga aku merasa tak lebih dari seorang jahil yang bersembunyi di balik kerudung takwa. Terlebih bila harus berhadapan dengan dirimu, Adikku.
Adikku, berulang kali kukatakan padamu, jangan pernah mengidolakanku apalagi memfigurkanku. Karena, bagaimana pun diri ini tidak akan pernah sempurna. Akan ada saat dimana kau akan kecewa. Figurkanlah Rasulullah, bukankah itu yang selalu kukatakan padamu?
Nyatanya, kau benar-benar telah kecewa padaku. Lantaran kabar yang berhembus entah darimana hingga ke telingamu. Sebenarnya kabar-kabar itu telah sampai juga padaku, namun selalu kuanggap angin lalu. (Lihatlah betapa cueknya diriku). Sungguh, aku tak menyangka hal itu akan sangat mempengaruhimu.
Tapi tentu tak kan ada asap bila tak ada api. Aku menginstrospeksi diri. Lalu ku tersadar, mungkin ini teguran dari Allah agar aku lebih merapatkan hijab yang belakangan ini sangat kedodoran.
Sungguh, aku telah memaafkan prasangka burukmu itu. Bahkan akulah yang sebenarnya salah karena telah menjadi sebab munculnya prasangka itu. Maafkan aku, Adikku. Juga terima kasihku karena kau telah menyampaikan prasangkamu dengan terus terang di hadapanku.
Tapi tak ada gading yang tak retak. Maka, suatu saat bila, kau menemukan keburukan dariku, jangan pernah kau ikuti! Sampaikanlah padaku, agar aku bisa merubahnya. Bukankah orang-orang yang beruntung adalah mereka yang saling menasehati dalam kebaikan?
Ah…, rasanya diri ini terlalu banyak menghadirkan kekecewaanmu. Terlalu banyak menjengkelkanmu. Terlalu banyak keburukan yang kulakukan. Maka maafkan aku, kumohon.
Oh, Adikku, kau tahu. Begitu irinya diriku ketika mengetahui bahwa kau pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Setiap mengingat bahwa orang yang mulia itu adalah dirimu, selalu saja kuingin menitihkan airmata. Di satu sisi aku tersadar, betapa lemahnya iman ini dan betapa tidak pantasnya aku menjadi penasehatmu, tapi di sisi lain aku sangat bahagia karena telah mengenalmu dan menjadi orang yang dipercayakan Allah sebagai Murabbiyahmu.
Membaca suratmu, sungguh membuatku terharu. Terima kasih atas perhargaanmu yang rasanya terlalu tinggi untuk kusandang. Tapi adikku, aku dilanda ketakutan, mungkin aku tak se ‘cantik’ yang kau mimpikan. Tak seindah yang kau harapkan. Sekali lagi, maafkan aku. Kakakmu yang selalu saja memberikan gelas yang tak berisi air pada saat kau kehausan. Yang tak sanggup menjadi oase untuk menyejukkan dahagamu.
Maafkan.
Adikku, doa-doaku untukmu kugemakan di hatiku, kuucapkan di sudut bibirku dengan lirih. Entah kau kan mendengarnya, entah para malaikat kan mengaminkannya, tapi kuyakin, Allah akan mengijabahnya. Ku doakan selalu yang terbaik bagimu. Ku doakan agar Allah selalu membimbingmu. Ku doakan agar hidayah Allah terus tercurah atasmu dengan atau tanpa diriku. Dan jadilah orang yang selalu dekat padaNya.
Lalu suatu saat nanti lupakanlah aku. Ku mohon lupakanlah aku….
Khaulah Al-Fitri
Makassar, 27 Februari 2009
AHLAN WA SAHLAN....
butterfly n rose
Sabtu, 28 Februari 2009
Mutarabbiyahku adalah Murabbiku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 comments:
sang pemimpi tak akan pernah melupakanmu...
lihatlah betapa Allah memberiku arah langkah menuju ke arahmu, kau hadir dengan senyummu-mangici latti' begitu kata orang bugis- dalam mimpi untuk menolongku.
mimpi bertemu denganmu, bagi orang lain bisa jadi itu hanya bunga mimpi, tetapi tidak bagiku...semua itu adalah anugerah...anugerah Allah.
>pujian2anmu membuatku serasa ingin melayang.bungkam..tak tahu ingin berkata apa...
aku tak tahu dengan wajah apa menyikapi sebuah pujian, apalagi engkau menghujaniku dengan bermacam-macam pujian.
airmata dan sekantong pisang madu menemaniku disaat kubaca tulisanmu
>>>>>>>>>
mungkin kau tak dapat membayangkan,tapi coba bayangkanlah wajahku, dengan tersedu-sedu,pipi yang berlinang airmata sambil mengemut pisang.
>>>>>>>>>
Posting Komentar