AHLAN WA SAHLAN....

butterfly n rose

Jumat, 20 Februari 2009

Indonesia Tanah Syurga

Oleh: Indah Fitriani*




“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupiku. Tiada topan tiada badai ku temui. Ikan dan udang menghampiri diriku. Orang bilang tanah kita tanah syurga. Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman…”

Sepenggal lirik lagu Koes Plus di atas sebenarnya cukup jujur untuk tidak disebut hiperbola. Negeri kita Indonesia tercinta adalah sebenar-benarnya negeri yang kaya raya. Melimpah ruah sumber daya alamnya. Bahkan, tidaklah membual bila kita berkata “Indonesia adalah Negeri yang terkaya di dunia”.


Buktinya, dari ujung Nias hingga ke ujung Merauke sana, berbagai kekayaan alam berjejer rapi seperti berlomba memamerkan keelokannya. Mulai dari keanekaragaman hayati seperti badak, gajah, anoa, Rafflesia Arnoldii, bernaung dalam ekosistemnya di bawah naungan hutan-hutan yang pepohonannya tinggi menjulang selama ribuan tahun.
Hingga pada kekayaan tambang dari nikel, timah dan logam-logam mulia yang seolah tak kan pernah habis walau dikeruk tujuh turunan.

Tak heran bila sejak jaman nenek moyang kita, negeri ini selalu dijadikan lahan imperialisme bangsa-bangsa Eropa.
Maka tak heran pula bila dengan kepercayaan diri yang tinggi dalam balutan komunismenya, proklamator Indonesia, Ir. Soekarno, mendaulat negeri ini dengan menolak segala campur tangan asing dalam mengurus perekonomiannya. Para “ashabiqunal awwalun “ negeri ini yakin, kita bisa mandiri dengan mangandalkan berbagai kekayaan SDA yang ada sebagai pensuplai kebutuhan rumah tangga dalam negeri serta sebagai barang komoditi ekspor. Sektor riil yang luar biasa mumpuni. Adam Smith tentu akan tertawa haru melihatnya.

Namun benar adanya, orang yang berada di puncak pohon akan lebih mudah jatuh oleh buaian angin semilir lembut daripada hantaman badai yang menderas. Indonesia seperti orang kaya baru yang bodohnya minta ampun. Berkaca pada Jepang, pada hari yang sama dengan terbebasnya kita dari jerat penjajah, mereka harus rela kehilangan Hiroshima dan Nagasakinya, dua kota yang menjadi jantung hati perekonomian mereka. Namun pada dekade-dekade belakangan ini, Jepang justru berjaya. Tak harus mengerahkan Samurai atau Ninjanya, tapi cukup menyentil dengan ujung kendama anak kecil, Indonesia sudah pasti lari kocar kacir.

Indonesia, hidung kita telah lama tercocoki tak berdaya oleh gelang hegemoni bangsa-bangsa yang digjaya. Terikut arus peradaban bahkan waham dan ideologi. Ironisnya, meski kita selalu mengaku miskin, namun ternyata gengsi juga untuk tidak bergaya hedonis. Selera konsumtif yang tinggi. Malu untuk tidak mengikuti tren mode masa kini.

Mau jadi apa Indonesia? Ah Indonesia, kita selalu berkata Indonesia begini Indonesia begitu. Indonesia itu miskin, Indonesia itu payah, Indonesia itu bodoh. Padahal kita sendiri adalah jelas-jelas Warga Negara Indonesia, lahir dan hidup di tanah Indonesia, dengan atau tanpa memiliki KTP sekalipun. Kita asli, original, made by Indonesia. Lantas, siapa sebenarnya yang miskin? Siapa sebenarnya yang bodoh?
Ah, mungkin juga tidak selalunya miskin dan bodoh. Saatnya kita membuka paradigma, mengubah pola pikir dan memperbaharui prinsip kita. Teringat ungkapan Stephen Chow dalam CJ7 “Aku ingin menjadi orang miskin. Kata ayahku, tak apa miskin yang penting punya prinsip. Kita tidak mencuri dan tidak berkelahi”

Sebuah presentase inspiratif dari Fahri Muhammad dan Mas Pri GS dalam refleksi Smart FM mungkin bisa membantu dalam mengubah paradigma ber-Indonesia kita.
“Mungkin kita sudah terlalu lama mencaci bangsa Indonesia, sehingga akhirnya cacian itu menjadi do’a”, begitu kata Fahri Muhammad.
Kamu adalah apa yang kau katakan dan kau pikirkan. Begitulah yang bisa dihikmahi dari penelitian Masaru Emoto terhadap air yang diberi kata-kata pujian dan kata-kata cacian yang ternyata keduanya memiliki tekstur heksagonal yang berbeda.

Mungkin saatnya kita harus memuji bangsa dan diri kita sendiri seperti yang kerap dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kita terdahulu. Yang kerap dilagukan dalam Rayuan Pulau Kelapa. Kekuatan kepercayaan diri adalah sangat supersif setidaknya untuk membuat kita menang sebelum bertanding.
Tidak sekedar bicara, ternyata kita memang bisa menang bila bertanding dengan negara-negara lain. Kenapa harus takut kalah? Kata seorang profesor, pada dasarnya Indonesia dengan negara-negara lain sama saja, yang membedakan hanyalah bahasa. Itu saja. Tidak percaya?

“Di tengah perekonomian global yang sedang carut-marut ini, rupanya kita, bangsa Indonesia tidak terpuruk-terpuruk amat. Karena kita telah terbiasa menderita, kita telah terbiasa krisis”, Pri GS mengatakan dengan guyonannya, Dan memang benar adanya, di saat Jepang telah menutup pintu moneter internasionalnya, Indonesia masih bisa ongkang-ongkang kaki dengan santainya. (Kadang kala, cuek juga diperlukan)
Kita memiliki kekuatan di sektor riil yang kuat.Sehingga kita tidak perlu takut pada krisis ekonomi moneter. Ternyata ada untungnya juga pendidikan WNI kita rendah, karena itu mengarahkannya untuk melakukan usaha-usaha perdagangan yang sederhana. Sehingga hanya 5% dari WNI yang bermain-main saham. Berbeda dengan Amerika yang –katanya- penduduknya cerdas-cerdas,95% warganya menggunakan kertas saham itu. Maka wajar bila kita masih bisa optimis. Harapan untuk Indonesia masih terbentang luas.

Mari kita membuka pandangan kita dengan memperhatikan potensi-potensi besar yang terpapar dengan sederhana di depan mata kita. ‘Modal-modal artistik’ --begitu Pri GS menyebutkannya-- terhampar banyak sekali di sekitar kita.

Seorang anak remaja yang terbiasa mengantarkan koran pagi-pagi buta sebelum bersiap ke sekoah, para wanita pembatik, anak-anak kecil yang merangkai satu per satu jalinan rotan untuk Songko’ To Bone, para nelayan pengumpul tiram, dan sebagainya, bukankah itu potensi ketekunan yang nyata?

Lihatlah juga para pengamen jalanan yang memiliki suara burung camar, yang mampu mengaransemen musik hanya dengan menepuk-nepuk tumpukan penutup-penutup botol, atau para remaja vandal yang mencipta grafitty artistik di tembok-tembok bangunan kota. Ternyata kreatifitas itu ada di mana-mana.

Lihat pulalah Lintang dan Mahar yang terlahir dengan bakat intelegensia dan naluri seni yang tinggi, mereka yang terdidik dari alam asli Indonesia. Iceberg metaphore tentu berlaku. Ada ribuan Lintang dan Mahar di negeri kita yang tak sempat mampir semua dalam Laskar Pelangi.

Ternyata bila kita membuka mata sedikit lebih lebar saja, bisa kita temukan segala potensi itu . Ada banyak local genius yang kita miliki, yang sayangnya tak semuanya kita apresiasi dengan perhargaan yang tinggi. Mungkinkah karena kita tidak sempat menginderajiwai semuanya? Ataukah karena saking banyaknya sehingga kadang kita me-mubadzir-kan semuanya. Wajar, kadang sesuatu yang banyak cenderung untuk tidak dihargai. Maka benarlah tulisan di T-Shirt Pabrik Kata-Kata Joger Bali “Lebih baik sedikit tapi cukup, daripada banyak tapi kurang”

Kembali ke lirik lagu Koes Plus tadi “…orang bilang tanah kita tanah syurga…” Ah, mengapa harus “orang bilang”? Mengapa harus orang lain yang lebih dulu menyadari? Sehingga bangsa asing bisa leluasa mengeksploitasi dan merajai kita. Dan menjadikan kita seolah pendatang di negeri sendiri, menjadikan kita buruh untuk harta sendiri. Padahal kitalah sebenarnya yang memiliki segala anugerah itu. Maka seharusnya kitalah yang lebih dulu mawas diri. Bukankah kita dihalalkan mati dalam perjuangan mempertahankan tanah dan harta? Apalagi untuk sepetak Tanah Syurga.

Maka marilah, para penduduk Indonesia. Saatnya kita menghargai kecerdasan diri sendiri. Menghargai kecerdasan orang-orang Indonesia, mensyukuri kekayaan warisan nenek moyang kita. Mari kita akhiri caci maki kita. Karena sungguh tidaklah pantas mencaci Ibu Pertiwi, seperti tidak pantasnya kita mencaci ibu kita sendiri. Ibu yang telah melahirkan kita dari rahimnya. Dan bukankah kita semua tercipta dari saripati tanah? Lalu tanah yang manakah? Manalagi kalau bukan Tanah Indonesia.

--Makassar, 6 Desember 2008
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM Unhas, angkatan 2005


0 comments:

Posting Komentar

dari Goodreads