Balasan dari suratmu, kutuliskan di sini. Kuharap kau tak keberatan. Akan kusediakan hard copy-nya kalau kau mau.
Sebenarnya sudah lama aku ingin memposting tulisan tentangmu, Adikku. Di Blog ku yang sederhana ini, agar semua orang yang mengunjungi blog ini tahu, betapa berharganya dirimu. Dan sungguh tidak pantas diri ini menjadi seorang yang seyogyanya membimbingmu, karena dari dirimulah sebenarnya kuterima banyak sekali pelajaran berharga.
Aku mengenal dirimu sebagai sosok yang istimewa dibanding akhwat-akhwat lainnya. Masih terekam di benakku, ketika pertama kali kau berkata bahwa cita-citamu adalah bagaimana menjadi seorang Mukminah yang akan menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Saat itu, kau masih seorang Mahasiswa Baru yang bahkan belum sempat mengecap dakwah kampus, tapi kau telah memiliki cita-cita yang sangat luhur! “Ku anfusakum wa ahlikum nara”, kuyakin, kau tak kan sebatas mengatakannya.
Adikku, darimu aku belajar bagaimana seorang wanita memperjuangkan fikrahnya di dalam keluarga yang sangat tidak mendukung aktifitas-aktifitas keislamanmu. Darimu pula aku belajar bagaimana melihat peluang dari hal-hal yang jarang sekali dipikirkan oleh orang lain. Kau tahu? Aku juga belajar berbisnis darimu.
Semangatmu yang selalu membara, rasa ingin tahumu yang luar biasa, ide-idemu yang brilian, serta keberanian dan kejujuranmu yang murni tanpa tendensi apa-apa membuatku merasa sangat tidak pantas menjadi seseorang yang ‘berdiri di atasmu’.
Kau tahu, Adikku, kau bisa saja mempecundangiku dalam segala hal. Memasak, menulis, berbisnis, berkreasi, berbahasa Inggris, dsb. Ku yakin, kau akan selalu menang.
Kadang aku merasa betapa munafiknya diriku di hadapanmu. Yang dengan tangan ini tak pernah memberikan jasa apa-apa dalam membangun dakwah. Yang dengan lisan ini tak sanggup menyampaikan apa-apa dalam nasehat dakwah. Dengan maknawiyah diriku yang sangat memprihatinkan, dengan ruhiyahku yang sangat lemah. Hingga aku merasa tak lebih dari seorang jahil yang bersembunyi di balik kerudung takwa. Terlebih bila harus berhadapan dengan dirimu, Adikku.
Adikku, berulang kali kukatakan padamu, jangan pernah mengidolakanku apalagi memfigurkanku. Karena, bagaimana pun diri ini tidak akan pernah sempurna. Akan ada saat dimana kau akan kecewa. Figurkanlah Rasulullah, bukankah itu yang selalu kukatakan padamu?
Nyatanya, kau benar-benar telah kecewa padaku. Lantaran kabar yang berhembus entah darimana hingga ke telingamu. Sebenarnya kabar-kabar itu telah sampai juga padaku, namun selalu kuanggap angin lalu. (Lihatlah betapa cueknya diriku). Sungguh, aku tak menyangka hal itu akan sangat mempengaruhimu.
Tapi tentu tak kan ada asap bila tak ada api. Aku menginstrospeksi diri. Lalu ku tersadar, mungkin ini teguran dari Allah agar aku lebih merapatkan hijab yang belakangan ini sangat kedodoran.
Sungguh, aku telah memaafkan prasangka burukmu itu. Bahkan akulah yang sebenarnya salah karena telah menjadi sebab munculnya prasangka itu. Maafkan aku, Adikku. Juga terima kasihku karena kau telah menyampaikan prasangkamu dengan terus terang di hadapanku.
Tapi tak ada gading yang tak retak. Maka, suatu saat bila, kau menemukan keburukan dariku, jangan pernah kau ikuti! Sampaikanlah padaku, agar aku bisa merubahnya. Bukankah orang-orang yang beruntung adalah mereka yang saling menasehati dalam kebaikan?
Ah…, rasanya diri ini terlalu banyak menghadirkan kekecewaanmu. Terlalu banyak menjengkelkanmu. Terlalu banyak keburukan yang kulakukan. Maka maafkan aku, kumohon.
Oh, Adikku, kau tahu. Begitu irinya diriku ketika mengetahui bahwa kau pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Setiap mengingat bahwa orang yang mulia itu adalah dirimu, selalu saja kuingin menitihkan airmata. Di satu sisi aku tersadar, betapa lemahnya iman ini dan betapa tidak pantasnya aku menjadi penasehatmu, tapi di sisi lain aku sangat bahagia karena telah mengenalmu dan menjadi orang yang dipercayakan Allah sebagai Murabbiyahmu.
Membaca suratmu, sungguh membuatku terharu. Terima kasih atas perhargaanmu yang rasanya terlalu tinggi untuk kusandang. Tapi adikku, aku dilanda ketakutan, mungkin aku tak se ‘cantik’ yang kau mimpikan. Tak seindah yang kau harapkan. Sekali lagi, maafkan aku. Kakakmu yang selalu saja memberikan gelas yang tak berisi air pada saat kau kehausan. Yang tak sanggup menjadi oase untuk menyejukkan dahagamu.
Maafkan.
Adikku, doa-doaku untukmu kugemakan di hatiku, kuucapkan di sudut bibirku dengan lirih. Entah kau kan mendengarnya, entah para malaikat kan mengaminkannya, tapi kuyakin, Allah akan mengijabahnya. Ku doakan selalu yang terbaik bagimu. Ku doakan agar Allah selalu membimbingmu. Ku doakan agar hidayah Allah terus tercurah atasmu dengan atau tanpa diriku. Dan jadilah orang yang selalu dekat padaNya.
Lalu suatu saat nanti lupakanlah aku. Ku mohon lupakanlah aku….
Khaulah Al-Fitri
Makassar, 27 Februari 2009
AHLAN WA SAHLAN....
butterfly n rose
Sabtu, 28 Februari 2009
Mutarabbiyahku adalah Murabbiku
Jumat, 20 Februari 2009
Kutitip Namanya di Tanah Suci
Pangeran Berkuda??
Hhh...
Telah kutitip namanya pada Om Issi dan Tante Ani
Pada Om Munir dan Tante Siang
Juga pada Unda Bua dan Dato' Boddie
Untuk disebutkan di atas Tanah Suci, di dalam Masjidil Haram, di hadapan Ka'bah yang mulia...
di hadapan Sang Pemilik Cinta Sempurna
di hadapan Yang Maha Kasih
Hhh..hhh..
Kutitip namanya
berkali-kali, berulang-ulang
Sepanjang malam-malam,
sepanjang pagi-pagi
sepanjang siang-siang
sepanjang senja-senja
sepanjang cerah-cerah
sepanjang hujan-hujan...
Fiuh..
Adakah dia mendengarnya???
Lubang di Hati
Ku buka mata dan ku lihat dunia
‘tlah ku terima anugerah dunia
Tak pernah aku menyesali yang ku punya
Tapi ku sadari ada lubang dalam hati
Ku cari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini
Ku menanti jawaban apa yang dikatakan oleh hati
Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini ku cari tanpa henti
Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang dalam hati
Ku mengira hanya dialah obatnya
Tapi ku sadari bukan itu yang kucari
Ku teruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan
Dan ku yakin kau tak ingin aku berhenti
Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini ku cari tanpa henti
Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang ’kan mengisi lubang dalam hati
Indonesia Tanah Syurga
Oleh: Indah Fitriani*
“Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupiku. Tiada topan tiada badai ku temui. Ikan dan udang menghampiri diriku. Orang bilang tanah kita tanah syurga. Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman…”
Sepenggal lirik lagu Koes Plus di atas sebenarnya cukup jujur untuk tidak disebut hiperbola. Negeri kita Indonesia tercinta adalah sebenar-benarnya negeri yang kaya raya. Melimpah ruah sumber daya alamnya. Bahkan, tidaklah membual bila kita berkata “Indonesia adalah Negeri yang terkaya di dunia”.
Buktinya, dari ujung Nias hingga ke ujung Merauke sana, berbagai kekayaan alam berjejer rapi seperti berlomba memamerkan keelokannya. Mulai dari keanekaragaman hayati seperti badak, gajah, anoa, Rafflesia Arnoldii, bernaung dalam ekosistemnya di bawah naungan hutan-hutan yang pepohonannya tinggi menjulang selama ribuan tahun.
Hingga pada kekayaan tambang dari nikel, timah dan logam-logam mulia yang seolah tak kan pernah habis walau dikeruk tujuh turunan.
Tak heran bila sejak jaman nenek moyang kita, negeri ini selalu dijadikan lahan imperialisme bangsa-bangsa Eropa.
Maka tak heran pula bila dengan kepercayaan diri yang tinggi dalam balutan komunismenya, proklamator Indonesia, Ir. Soekarno, mendaulat negeri ini dengan menolak segala campur tangan asing dalam mengurus perekonomiannya. Para “ashabiqunal awwalun “ negeri ini yakin, kita bisa mandiri dengan mangandalkan berbagai kekayaan SDA yang ada sebagai pensuplai kebutuhan rumah tangga dalam negeri serta sebagai barang komoditi ekspor. Sektor riil yang luar biasa mumpuni. Adam Smith tentu akan tertawa haru melihatnya.
Namun benar adanya, orang yang berada di puncak pohon akan lebih mudah jatuh oleh buaian angin semilir lembut daripada hantaman badai yang menderas. Indonesia seperti orang kaya baru yang bodohnya minta ampun. Berkaca pada Jepang, pada hari yang sama dengan terbebasnya kita dari jerat penjajah, mereka harus rela kehilangan Hiroshima dan Nagasakinya, dua kota yang menjadi jantung hati perekonomian mereka. Namun pada dekade-dekade belakangan ini, Jepang justru berjaya. Tak harus mengerahkan Samurai atau Ninjanya, tapi cukup menyentil dengan ujung kendama anak kecil, Indonesia sudah pasti lari kocar kacir.
Indonesia, hidung kita telah lama tercocoki tak berdaya oleh gelang hegemoni bangsa-bangsa yang digjaya. Terikut arus peradaban bahkan waham dan ideologi. Ironisnya, meski kita selalu mengaku miskin, namun ternyata gengsi juga untuk tidak bergaya hedonis. Selera konsumtif yang tinggi. Malu untuk tidak mengikuti tren mode masa kini.
Mau jadi apa Indonesia? Ah Indonesia, kita selalu berkata Indonesia begini Indonesia begitu. Indonesia itu miskin, Indonesia itu payah, Indonesia itu bodoh. Padahal kita sendiri adalah jelas-jelas Warga Negara Indonesia, lahir dan hidup di tanah Indonesia, dengan atau tanpa memiliki KTP sekalipun. Kita asli, original, made by Indonesia. Lantas, siapa sebenarnya yang miskin? Siapa sebenarnya yang bodoh?
Ah, mungkin juga tidak selalunya miskin dan bodoh. Saatnya kita membuka paradigma, mengubah pola pikir dan memperbaharui prinsip kita. Teringat ungkapan Stephen Chow dalam CJ7 “Aku ingin menjadi orang miskin. Kata ayahku, tak apa miskin yang penting punya prinsip. Kita tidak mencuri dan tidak berkelahi”
Sebuah presentase inspiratif dari Fahri Muhammad dan Mas Pri GS dalam refleksi Smart FM mungkin bisa membantu dalam mengubah paradigma ber-Indonesia kita.
“Mungkin kita sudah terlalu lama mencaci bangsa Indonesia, sehingga akhirnya cacian itu menjadi do’a”, begitu kata Fahri Muhammad.
Kamu adalah apa yang kau katakan dan kau pikirkan. Begitulah yang bisa dihikmahi dari penelitian Masaru Emoto terhadap air yang diberi kata-kata pujian dan kata-kata cacian yang ternyata keduanya memiliki tekstur heksagonal yang berbeda.
Mungkin saatnya kita harus memuji bangsa dan diri kita sendiri seperti yang kerap dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan kita terdahulu. Yang kerap dilagukan dalam Rayuan Pulau Kelapa. Kekuatan kepercayaan diri adalah sangat supersif setidaknya untuk membuat kita menang sebelum bertanding.
Tidak sekedar bicara, ternyata kita memang bisa menang bila bertanding dengan negara-negara lain. Kenapa harus takut kalah? Kata seorang profesor, pada dasarnya Indonesia dengan negara-negara lain sama saja, yang membedakan hanyalah bahasa. Itu saja. Tidak percaya?
“Di tengah perekonomian global yang sedang carut-marut ini, rupanya kita, bangsa Indonesia tidak terpuruk-terpuruk amat. Karena kita telah terbiasa menderita, kita telah terbiasa krisis”, Pri GS mengatakan dengan guyonannya, Dan memang benar adanya, di saat Jepang telah menutup pintu moneter internasionalnya, Indonesia masih bisa ongkang-ongkang kaki dengan santainya. (Kadang kala, cuek juga diperlukan)
Kita memiliki kekuatan di sektor riil yang kuat.Sehingga kita tidak perlu takut pada krisis ekonomi moneter. Ternyata ada untungnya juga pendidikan WNI kita rendah, karena itu mengarahkannya untuk melakukan usaha-usaha perdagangan yang sederhana. Sehingga hanya 5% dari WNI yang bermain-main saham. Berbeda dengan Amerika yang –katanya- penduduknya cerdas-cerdas,95% warganya menggunakan kertas saham itu. Maka wajar bila kita masih bisa optimis. Harapan untuk Indonesia masih terbentang luas.
Mari kita membuka pandangan kita dengan memperhatikan potensi-potensi besar yang terpapar dengan sederhana di depan mata kita. ‘Modal-modal artistik’ --begitu Pri GS menyebutkannya-- terhampar banyak sekali di sekitar kita.
Seorang anak remaja yang terbiasa mengantarkan koran pagi-pagi buta sebelum bersiap ke sekoah, para wanita pembatik, anak-anak kecil yang merangkai satu per satu jalinan rotan untuk Songko’ To Bone, para nelayan pengumpul tiram, dan sebagainya, bukankah itu potensi ketekunan yang nyata?
Lihatlah juga para pengamen jalanan yang memiliki suara burung camar, yang mampu mengaransemen musik hanya dengan menepuk-nepuk tumpukan penutup-penutup botol, atau para remaja vandal yang mencipta grafitty artistik di tembok-tembok bangunan kota. Ternyata kreatifitas itu ada di mana-mana.
Lihat pulalah Lintang dan Mahar yang terlahir dengan bakat intelegensia dan naluri seni yang tinggi, mereka yang terdidik dari alam asli Indonesia. Iceberg metaphore tentu berlaku. Ada ribuan Lintang dan Mahar di negeri kita yang tak sempat mampir semua dalam Laskar Pelangi.
Ternyata bila kita membuka mata sedikit lebih lebar saja, bisa kita temukan segala potensi itu . Ada banyak local genius yang kita miliki, yang sayangnya tak semuanya kita apresiasi dengan perhargaan yang tinggi. Mungkinkah karena kita tidak sempat menginderajiwai semuanya? Ataukah karena saking banyaknya sehingga kadang kita me-mubadzir-kan semuanya. Wajar, kadang sesuatu yang banyak cenderung untuk tidak dihargai. Maka benarlah tulisan di T-Shirt Pabrik Kata-Kata Joger Bali “Lebih baik sedikit tapi cukup, daripada banyak tapi kurang”
Kembali ke lirik lagu Koes Plus tadi “…orang bilang tanah kita tanah syurga…” Ah, mengapa harus “orang bilang”? Mengapa harus orang lain yang lebih dulu menyadari? Sehingga bangsa asing bisa leluasa mengeksploitasi dan merajai kita. Dan menjadikan kita seolah pendatang di negeri sendiri, menjadikan kita buruh untuk harta sendiri. Padahal kitalah sebenarnya yang memiliki segala anugerah itu. Maka seharusnya kitalah yang lebih dulu mawas diri. Bukankah kita dihalalkan mati dalam perjuangan mempertahankan tanah dan harta? Apalagi untuk sepetak Tanah Syurga.
Maka marilah, para penduduk Indonesia. Saatnya kita menghargai kecerdasan diri sendiri. Menghargai kecerdasan orang-orang Indonesia, mensyukuri kekayaan warisan nenek moyang kita. Mari kita akhiri caci maki kita. Karena sungguh tidaklah pantas mencaci Ibu Pertiwi, seperti tidak pantasnya kita mencaci ibu kita sendiri. Ibu yang telah melahirkan kita dari rahimnya. Dan bukankah kita semua tercipta dari saripati tanah? Lalu tanah yang manakah? Manalagi kalau bukan Tanah Indonesia.
--Makassar, 6 Desember 2008
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM Unhas, angkatan 2005
Senin, 02 Februari 2009
Annas Allaf in Gaza Tonight
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Michael Heart -Gaza Tonight –lirik
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In the night, without a fight
We will not go down
In Gaza tonight
Desember Kelabu
Sebagaimana judul lagu nostalgia itu, Desember kelabu
Juga Desember 2008 ini, kusematkan medali duka padanya
Duka, duka, hingga aku tak tahu harus mulai menangis darimana
Lebih Pengembara
Kunobatkan dia sebagai Sang Pengembara Sejati. Seorang lelaki belia yang penuh semangat. Selalu aktif dan mencari sesuatu yang baru. Pantang menyerah, bahkan segala rintangan dianggapnya sebagai tantangan yang menyenangkan. Dia selalu tertawa dan ceria di setiap kesempatan, menyapa orang-orang yang dijumpainya dengan senyumannya yang khas. Senyuman yang membuat orang merasa bisa sangat mencintainya.
Ketulusannya terpancar di matanya yang bulat jernih, dan ketika kau lihat lebih dalam ke matanya, kau akan menemukan jiwa lelaki yang sangat tangguh. Melihatnya akan membuatmu yakin bahwa masa depan akan terasa sangat baik bila dipimpin olehnya.
Kujuluki dia Sang Pengembara Sejati lantaran hobinya berkelana dan menemukan tempat-tempat yang belum pernah dijumpainya. Ajakan untuk menjelajah dari siapa saja selalu diterimanya dengan antusias! Sepertinya dia ingin mengeliingi dunia dengan kaki-kaki kokohnya.
Dia adalah sosok yang tangguh di antara lelaki-lelaki seusianya. Meskipun perawakannya kecil, namun asa yang ada di balik dadanya luar biasa besarnya. Kau takkan mengira bahwa di jari-jari kecilnya tersimpan tenaga yang besar. Dialah calon pemimpin dunia di masa depan!
Hmhm...
Mau tahu siapa Sang Pengembara Sejati itu?? baca nih biodatanya:
Nama: IBRAHIM "BAIM BONG" AL-GHIFARY.
Ibrahim: hampir semua orang tahu, ini nama seorang nabi, dia dijuluki "Hanif", sosok manusia yang lurus aqidahnya, dan 'memiliki' Tuhan di dalam hatinya, Nah. Ibrahim juga adalah nama kakek Sang pengembara Sejatti (alm) yang tidak pernah dijumpainya, karena sudah meninggal belasan tahun sebelum Sang Pengembara Sejati lahir
Al-Ghifary:
adalah nama suku di jazirah arab yang terkenal tangguh dan sangat disegani, seorang sahabat Rasul yang berasal dari suku itu bernama AbuDzar Al-Ghifary (kenal kan?) beliau sosok yang sangat pemberani. Al-Ghifary juga adalah nama Mushalla di D3 IPB, LDM Al-Ghifary, di sini ini, Aiko jadi pengurusnya
Baim:
ini panggilan yang biasa dipakai orang2 yang punya nama Ibrahim, seperti nama penyanyi mantan vokalis Ada Band yang sekarang menjadi pasangan mantan Putri Indonesia: Artika Sari Devy, juga pada nama artis Baim Wong seorang keturunan Cina yang muallaf yg banyak membintangi sinetron2. Baim juga adalah nama artis cilik yang pintar dan imut-imut pemeran utama Cinta SMA, seorang anak balita dengan pipi tembem yang lucu, (sebenarnya Sang Pengembara dinamai Baim karena mirip sekali dengan artis cilik ini)
Bong:
ni plesetan dari "Wong" nya Baim Wong, secara banyak orang jaman sekarang yg suka sabet2 nama artis biar kecipratan pamor.hehehe. Bong juga singktan dari "Kebbong" alias "Bau busuk" dalam bahasa Makassar. kenapa kebbong? gak tahulah, q suka menamainya itu, lucu! Dan mungkin bisa jd majas ironi dari "wangi"..hehehe (dasar asal!)
T4 Tgl Lahir: (perhatikan baik-baik) Pangkep, 19 April 2008
Berarti, Baim ini umurnya (terhitung sejak kuposting tulisan ini) belum genap 1 tahun! hahaha
Dia-sampai saat ini- adalah anak bungsu dari 7 bersaudara. Aku, Aiko, Ayyid, Pais, Piko, Acce', dan Baim...heheh. Praktis, dia adikku yang lucu n ngegemesin..!! Hm..kalau hitung-hitungan umur sih, orang2 mungkin bakal percaya kalau kubilang Baim ni anakku.hehehe..
Ciri-ciri fisik:
Mata : belo, bola pingpong, ni turunan dari Bapak e, yg sebelumnya juga diturunkan ke Aku (katanya), Ayyid, Pais n Piko.
Hidung : biasa aja, mancung gak, pesek juga gak. Yang khas, Baim suka bikin angka 11 berwarna hijau kekuning2an di bawah hidungnya.Hahaha
Bibir : kalo ini ku sering bilang "Baim si Dower", Bibir Jontor 5 centi.hehehehe.. tapi bagiku ini anggota tubuh yang paling kusukai dari seorang Baim Bong.
Pipi : gendut montok seperti bakpao atau roti pawa (roti kukus khas SulSel yang biasanya diisi kacang atau kelapa)
Gigi : saat ku tulis biodata ini, gigi Baim masih 4 biji! 2 di atas, 2 di bawah. Semuanya gigi seri susu (ya iyalah.. masak langsung geraham..) untuk 2 gigi atasnya dijuluki Gigi Cpombo' (klo diliteterkan sesuai ejaan yg benar tulisannya Gigi Spongebob) jgn lupa aksen ( ' ), berbunyi "k" halus di ujung kata Cpombo'. kadang juga Baim dijuluki Gigi La'ba' (ingat aksen ['] nya) yg berarti lebar. Coba kau lihat gigi Spongebob yang lebar, panjang n lucu itu. Mirip sekali gigi Baim. Alhasil, kalo Baim ketawa, jadinya gigi semua! Setelah mendapatkan anugrah 4 biji gigi, selain menjadi Pengembara Sejati, Baim juga meraih gelar Omnivora Sejati. Pemakan apa saja! mulai dari makanan yang memang makanan manusia, makanan hasil dapur ataupun peralatan dapur. Mulai dari yang selembek bubur tim, lalu sekeras biji-bijian, sampai besi, aluminium, baja,dsb. Dan kuasa Allah, sampai sekarang gigi2nya masih utuh 4 biji! Nih kayaknya boleh diadu dengan ahli Debus.hehehe
Telinga : Lebar, kalo diukur2 yaah..hampir selebar telinga gajah lah. Eh, jangan salah, kata orang, telinga lebar itu ciri-ciri orang jenius, (meski belum ada riset ilmiah yang membuktikannya, tapi teori ini sudah dibuktikan lewat survei dalam keluarga besar Sambung Dg Majarre') hehehe
Sekian dulu, semoga ada gambar foto Baim Bong si Dower bisa ku upload di blog ini,. Aku akan memilihkan gambar2 aksi2nya yg lucu, atau minimal Ketawa Gigi Cpombo'nya. Mungkin itu bisa jadi pengobat stress bagi kalian2 yang berkunjung.
(Semoga ada dari kalian yg bisa menyumbangkan kameranya yg beresolusi tinggi agar harapan ini dapat terwujud)
=P
Sudah Berganti
Kepala alhamdulillah masih satu. Tapi umur sudah "berkepala" 2. Ni berarti q bukan teen-ager lagi. Kalau minum susu penguat tulang, bukan lagi Hi-Lo teen. Kata para psikolog, umur2 ini masuk kategori dewasa muda (bener gak?), bukan lagi masa pencarian jati diri, melainkan masa di mana seorang sudah memiliki jati diri. Sudah punya perspektif kehidupan sendiri, bahkan sebagian orang di umur ini sudah bisa membiayai dirinya sendiri, bahkan lagi sebagian orang di umur ini sudah bisa membiayai diri orang lain selain dirinya, sudah memikirkan tentang pendamping hidup yang benar2 soulmate yang bukan sekedar Cinta Monyet, bahkan sebagian sudah mempersiapkan nama2 anaknya kelak.Hmhm...
Kita kadang juga merasa masih ingin seperti remaja yang bebas berleha-leha. Biasanya orang yang seumuran ini (kalau dia kuliah) sudah berada di semester2 akhir, dan sayangnya, kadang terlalu "Berjiwa Muda", seolah2 baru merasakan Ospek minggu lalu, padahal adik yg diOspek juga sudah mengerjakan skripsi seperti halnya drirnya bahkan melampaui dirinya. Inilah yang pernah kukatakan pada Sappiseng dgn istilah "didahului masa depan".Hmhmh,,,
Ah, sudah berganti. [Diri sudah sampai di biru, bukan lagi putih, sebentar lagi merah]
Panggilan juga kadang berganti. Saat ini, aku sangat bersyukur bila suatu kali ada orang yang tak ku kenal memanggilku dgn kata "mba", atau "adek" asal bukan "bu".
Pegawai di sebuah supermarket suatu hari pernah menyerempetku, aku menoleh dan dia berkata "Maaf, Bu" padahal mba itu kalau kutaksir umurnya tidak lebih muda dariku. Ah, apakah aku setua itu? Indikasi "Ibu" ini juga makin bisa diterima bila seseorang mendapatiku berjalan di antara rak2 supermarket, di deretan popok dan memasukkan Sweety ukuran M isi 20 lembar di dalam trolley belanjaanku, lalu mengambil lotion Zwitsal bentuk tube
Lalu kala itu, seorang ibu (kutaksir umurnya hampir 30) di sebelahku bertanya "Itu untuk apa, Bu?" (lagi2 dengan "Bu")
kujawab "Ini bagus dioleskan di selangkangan bayi, kulit bayi kadang iritasi karena keseringan pake popok. Oleskan ini, biasanya bisa langsung sembuh, ini lebih efektif dari merek2 lain, tapi tergantung juga sama kulit bayi cocoknya pake produk apa". Mendengarku, ibu di sebelahku manggut2 mengerti. Ah..
Lalu, semakin jelas saja "bu" itu, bila trolley belanjaanku ku arahkan ke tempat mainan anak2 untuk membeli bebek karet, giring-giring (kerincingan), dsb. Apalagi bila lanjut ke bagian freezer, membeli nugget, sayur, atau bumbu2 dapur.
Dan suatu kali ketika seseorang menelponku saat aku berada di rumah, dia mendengar suara sayup-sayup bayi yang menangis di dekatku. Dan ketika kugendong bayi kecil itu mencari udara segar di pekarangan, dan seorang petugas penagih listrik datang dan menyapaku dengan kalimat "Lucu sekali anaknya, Bu" (Ah...lagi2 "Bu")
Hmhm..tiba2 ku teringat kalimat Sang Pengembara "met hari Ibu, jadi ibu yang baik ya!" atau kalimat Chi2 "mang lagi ngapain, Bu?", jelas mereka bercanda, tapi kalau yang ini, dikatakan oleh seorang pemilik rumah yang kudatangi pas pendataan door to door KKN dulu "Mari masuk, Bu!", dia mengatakannya dengan menunduk hormat dan mengangsurkan tangan ke pintu. Sungguh tak mungkin dia bercanda. Seperti tak bercandanya kalimat yang diucapkan sopir pete-pete (angkot-pen) ketika ku sodorkan ongkos 5 ribuan "Tadi naik dimana, Bu?"
Benar2 sudah berganti panggilan itu. Lalu kuhitung lagi, masaku di dunia ini memang sudah cukup lama. Lebih 20 tahun. Entahlah,, apakah aku cepat menyadarinya atau lambat,dan manakah yang lebih baik? menyadarinya lebih cepat atau lebih lambat? Bahwa diri telah tua. Dan bertanya lagi aku "Ah, setua ini, apasaja yang telah kuperbuat?"
Wajah Duka
Segores duka terpahat jelas di wajahnya
Kerut keningnya, redup matanya, kuyu rautnya
Membahasakan perih yang mendalam
Kerongkongannya telah tercekat garam airmata
Tapi dia seorang lelaki
Cukuplah selembar bendera putih yang dia kibarkan berkali-kali
Di tengah terik jalan metromakassar
Menghalau derum kereta-kereta yang kerap adu ego
Dia memimpin iring-iringan duka
Menjadi panglimanya meski dengan jiwa baja yang terkorosi
Tatapku menembusi jendela geser yang terpapar termal
Kusaksi dia dengan sorot sendunya, seolah berkata
“Beri kami jalan, kekasihku telah berpulang padaNYA”